“Pulau Flores merupakan salah satu Pulau yang kaya akan gunung berapi, baik yang masih aktif maupun telah dinyatakan non aktif. Gunung-gunung berapi ini tersebar mulai dari Kabupaten Manggarai di Ujung Barat sampai di Lararantuka yang merupakan ujung Timur dari Pulau Flores. Dari sebab itu, hampir setiap tahun, penduduk Flores akan mengalami goncangan gempa bumi. Meskipun sejak gempa bumi dengan getaran terkuat yang disusul dengan tsunami di Kabupaten Sikka-Maumere tahun 1992, sampai saat ini belum pernah dialami getaran yang sebesar itu. Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat Flores tidak akan mengalami gempa bumi dengan dampak kerusakan sedahsyat itu di waktu-waktu mendatang.”
Dampak Psikologis Gempa Bumi Flores Tahun 1992
Goyangan-goyangan kecil di bumi Flores
yang selalu terjadi setiap tahun merupakan isyarat dan pratanda bahwa
tidak tertutup kemungkinan akan terjadi gempa bumi dan tsunami yang
besar di kemudian hari di salah satu kota di pulau bunga ini. Secara
pribadi, saya mengalami sendiri betapa gempa bumi terbesar di tahun 1992
masih meninggalkan trauma yang taktersembuhkan.
Untuk orang Flores sendiri yang pernah
merasakan gempa bumi terbesar di tahun 1992 pasti mengalami hal yang
sama. Gejala traumatis ini tampak ketika terjadi goyangan sedikit saja,
membuat orang spontan langsung berlarian dan berhamburan ke luar rumah.
Ada sebuah kisah unik akan hal ini dan akan selalu terulang setiap
terjadi gempa. Ketika saya masih SMU dan tinggal di asrama di Kabupaten
Ngada berkali-kali kami semua, seisi asrama pasti akan berlarian ke luar
dari kamar tidur, ruangan kelas, atau kapel jika sedikit saja merasakan
goyangan. Fenomena ini masih terjadi sampai hari ini. Beberapa waktu
lalu terjadi goncangan gempa dalam hitungan detik, tetapi para seminaris
yang sedang berdoa di Kapel, langsung melepaskan buku-buku doa dan
berlarian ke keluar menuju halaman terbuka. Padahal dari usia mereka
yang rata-rata kelahiran di atas tahun 1992, bisa dipastikan bahwa
mereka tidak seharusnya trauma karena ketika gempa bumi dan tsunami yang
melanda Kota Maumere di tahun 1992, mereka sesungguhnya belum lahir.
Akan tetapi, sangat boleh jadi ini
merupakan efek cerita turun-temurun yang kemudian menulari perasaan
traumatis dari generasi sebelumnya kepada generasi mereka. Dan saya rasa
ini merupakan salah satu dampak positif di mana anak-anak Flores sejak
dini tahu apa yang harus mereka lakukan apabila terjadi gempa bumi yang
dahsyat, sehingga mengurangi kisah mati terjebak di bawah reruntuhan
bangunan di kemudian hari.
Demikianlah, sisa-sisa pengalaman
traumatis dari gempa bumi 1992 yang diwariskan secara terus-menerus
kepada generasi berikutnya sebagai langkah antisipatif. Karena itu,
kewaspadaan seperti ini perlu terus-menerus dihidupkan karena bukan
tidak mungkin suatu saat Pulau ini juga akan mengalami goncangan dahsyat
gempa bumi.
Berkat Tersembunyi Di Balik Daerah yang Kaya Gunung Berapi
Selain dampak negatif yang dirasakan
oleh masyarakat Flores dengan adanya gempa bumi yang selalu dirasakan
hampir setiap tahun. Kehadiran gunung-gunung berapi di Pulau Flores
membawa berkat tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Misalnya: di
Kabupaten Ngada dengan adanya Gunung berapi Inerie yang katanya sudah
tidak aktif lagi, masyarakat desa wisata di sekitar kaki Gunung Inerie
bisa menikmati tanah yang subur dan memiliki sumber mata air panas yang
selalu dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Sehingga
selain kampung adat yang merupakan situs budaya, Kampung Bena, juga
mempunyai sumber air panas yang menambah ketertarikan para wisatawan
mancanegara untuk mengunjunginya. Gunung Ine Lika yang sepertinya masih
aktif di wilayah Soa, Ngada juga mengeluarkan sumber air panas Menge
Ruda yang menjadi tempat rekreasi masyarakat Ngada setiap hari. Hampir
setiap Hari Minggu, tempat wisata air panas Menge Ruda tidak pernah sepi
pengunjung. Belum lagi turis-turis mancanegara yang juga selalu sempat
mampir di sana apabila mengunjungi Kabupaten Ngada.
Jika sumber air panas menjadi berkat
tersendiri bagi masyarakat Kabupaten Ngada, masyarakat Kabupaten Ende
mengalami berkat lain yang jauh lebih spektakuler. Bekas gunung berapi
di Kabupaten Ende, sekarang ini menjadi salah satu tempat wisata yang
dikenal luas sampai ke manca negara. Apalagi kalau bukan Danau tiga
warna Kelimutu.
Danau Tiga Warna Kelimutu
Danau tiga warna kelimutu merupakan
kebanggaan bersama masyarakat Indonesia. Danau berwarna merah, hijau,
dan putih ini (terkadang berubah warna juga) bukan hanya menjadi
kebanggaan masyarakat Flores atau Ende, khususnya, tetapi menjadi
kebanggaan seluruh masyarakat Indonesia.
Danau ini terletak di daerah Moni,
Kabupaten Ende dan menjadi salah satu objek wisata favorit di Kabupaten
Ende. Jika anda ingin melihat Komodo di Pulau Komodo, jangan lupa untuk
menyimpangkan kaki anda ke wilayah tengah Pulau Flores ini untuk
menikmati panorma Danau Kelimutu. Di danau ini kita akan menikmati
indahnya lukisan Sang Pencipta melalui fenomena alam yang agak sulit
dijelaskan, meskipun banyak ahli sudah berusaha menjelaskan asal-usul
danau tiga warna ini dari erupsi gunung berapi purba dan penyebab adanya
macam-macam warna ini dikarenakan Danau Kelimutu memiliki kandungan
logam dan lumut di dasarnya.
Penjelasan secara sains ini baru terjadi
belakangan ini setelah adanya penelitian para geolog. Namun sebelum
adanya Sains dan Ilmu Pengetahuan Modern, masyarakat Ende, khususnya
yang berdiam di sekitar Danau tiga warna ini mempunyai mitos tersendiri
yang diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikutnya
berkaitan dengan sakralitas Gunung sekaligus Danau Kelimutu ini. Bagi
orang Ende, Danau ini merupakan salah satu pusat kebudayaan dan religi
asli para leluhurnya. Mereka mempunyai keyakinan bahwa ketiga Danau ini
merupakan sebuah khayangan bagi orang sudah meninggal.
Danau Kelimutu Salah Satu Pusat Religi Orang Ende-Lio
Selain menampilkan keindahan panorama
alamnya, puncak Kelimutu memiliki arti dan makna religius bagi orang Lio
(suku asli yang mendiami Kabupaten Ende). Puncak Kelimutu dipandang
orang Ende secara turun-temurun sebagai tempat sakral yang disebut dalam
bahasa setempat keli eo bhisa gia (gunung yang sakral). Di gunung inilah terdapat tiga tiwu (danau) yang beraneka warna dan diyakini sebagai tempat kediaman jiwa-jiwa orang yang telah meninggal. Pertama, tiwu ata polo (danau suanggi) yang airnya berwarna merah dan merupakan kediaman bagi arwah orang-orang dewasa. Kedua, tiwu nuamuri jemu (danau pemuda-pemudi) yang airnya berwarna hijau. Danau ini menjadi tempat kediaman orang-orang muda. Ketiga, tiwu ata bupu (danau
orang tua) yang airnya berwarna putih. Namun, warna ketiga danau itu
sering berubah-ubah: merah menjadi coklat tua, hijau menjadi abu-abu,
dan putih menjadi coklat muda.
Keyakinan ini bertolak dari pandangan
orang Lio akan tiga penguasa dunia orang mati. Tiga penguasa ini
mendiami tiga tempat yang berbeda, yang semuanya dianggap sebagai tempat
angker yakni: Kelimutu, Keli Samba, dan Mutu Busa. Ketiga tempat ini
dikuasai oleh tiga sosok yang berbeda yakni Konde, Raja, dan Ratu. Konde
adalah penguasa yang mendiami Danau Kelimutu. Ratu, saudari Konde,
menjadi penguasa Mutu Busa (sisi sebelah barat Danau Kelimutu-dekat Keli
Do). Raja, adik Konde, menjadi penguasa di Keli Sumba.
Orang Lio-Ende, percaya bahwa setiap
jiwa orang yang meninggal yang hendak menuju Kelimutu akan melewati
sebuah pintu yang disebut Pene Konde (pintu konde). Di pintu
ini, setiap jiwa akan diperiksa “status kelayakannya” apakah sudah
pantas masuk ke Kelimutu (artinya: mati) ataukah tidak. Jika dianggap
belum layak, maka jiwanya akan diusir kembali (hidup lagi) yang disebut
dengan konde keda. Karena itu, meskipun sudah meninggal
beberapa jam atau beberapa hari, namun jika dianggap belum layak, jiwa
akan diusir Konde untuk kembali ke dunia dan hidup kembali. Keyakinan
ini dibuktikan dengan kesaksian masyarakat setempat bahwa sering terjadi
fenomena seperti itu di masyarakat Lio.
Dengan demikian, bagi orang Lio yang
mendiami Kabupaten Ende, danau Kelimutu juga merupakan pusat religi asli
para leluhur. Karena itu, mereka harus menjaga harmoni dengan Danau
Kelimutu. Perubahan warna Danau Kelimutu bagi masyarakat Lio bukanlah
sekedar sebuah fenomena alam, tetapi sebuah isyarat/peringatan akan
bencana yang mesti mereka antisipasi. Perubahan warna danau terjadi
karena ada ulah-ulang orang Lio yang kurang berkenan di hati Konde, Sang
Penguasa Kelimutu.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
apabila anda mengunjungi Danau Kelimutu, anda akan merasakan aroma magis
dan mistis. Jika merasakannya, maka jangan lupakan latar belakang yang
dijelaskan dalam uraian ini.
Sumber Bacaan:
1. Arnd, Paul, 2002, Du’a Ngga’e: Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio.Maumere:Candraditya.
2. Ozias, Fernandez Stephanus, 1980, Filsafat Alam Dunia (ms).Ledalero: STFK Ledalero.
3. Subagya, Rahmat, 1979, Agama dan Alam Kerohanian di Indonesia. Ende Nusa Indah.
This entry was posted
on 20.54
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.
0 komentar